Bahasa Jawa adalah Bahasa Asing?

Ari Wijayanti SPd

Guru Bahasa Daerah di SMPN 2 Kandat, Kediri
wijayantisme@yahoo.co.id

SUATU ketika, ada keluarga muda yang memiliki seorang anak. Anak tersebut diajari bahasa Indonesia dan sesekali sedikit diselipi dengan bahasa Inggris. Saat si anak tersebut berhasil mengucapkan nama suatu benda yang ditunjuk oleh orangtuanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris, terlihat jelas betapa bangganya pasangan orangtua tersebut.

Hal semacam itu tentu sering dijumpai di sekitar kita. Banyak orangtua, terutama keluarga muda masa sekarang yang memilih mengajarkan bahasa ibu kepada seorang anak bukan lagi dalam bahasa Jawa, melainkan bahasa Indonesia. Bahkan, tidak jarang ditemui, orangtua yang memilih sejak dini sudah mengajarkan bahasa asing (utamanya bahasa Inggris) asing sebagai bahasa kedua bagi si anak.

Sejalan dengan tersebut, Dawud (100: 2008) menyebutkan bahwa pada umumnya siswa sekolah dasar (SD) di Jawa Timur (di luar Pulau Madura dan pulau sekitarnya) berbahasa pertama adalah bahasa Jawa dan berbahasa kedua disebutnya bahasa Indonesia. Di sebagian wilayah lainnya, terutama yang berada di daerah perkotaan dan di dalam keluarga muda, bahasa pertamanya adalah bahasa Indonesia sementara bahasa keduanya yang diperkenalkan kepada si anak adalah bahasa daerah (Jawa).

Memang sepintas hal tersebut tidaklah memiliki arti yang signifikan mengenai penggunaan bahasa pertama ataupun bahasa kedua yang diajarkan kepada anak-anak mereka. Namun, perlu kita sadari bahwa di provinsi Jawa Timur ini memiliki salah satu khasanah kebudayaan yakni khasanah bahasa daerah, bahasa Jawa.

Bahasa Jawa yang ada di Jawa Timur adalah bahasa Jawa yang memiliki standar ragam bahasa (Jawa) Surakarta dan Jogjakarta. Terdapat beberapa tingkatan atau ragam bahasa dalam bahasa Jawa, yaitu ragam ngoko, ragam krama baik krama madya atau krama inggil.

Ragam ini pula yang menjadikan sebuah bahasa Jawa menjadi satu-satunya bahasa yang luar biasa, karena memiliki tingkatan yang disesuaikan berdasarkan konteks yang melatarbelakangi percakapan. Di sinilah sebenarnya bahasa Jawa juga melatih unggah-ungguh atau tata krama yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bisa memperhalus budi pekerti seseorang yang mempergunakan bahasa daerah (Jawa) tersebut.

Sementara itu, banyak terjadi kesalahan yang digunakan oleh anak-anak zaman sekarang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa daerah (Jawa). Kondisi yang sebetulnya sangat memprihatinkan bagi kita semua. Lihat saja, tidak jarang para anak muda tersebut terkadang mencampur-adukkan ragam bahasa dalam percakapan, sehingga terdengar aneh di telinga dan dengans endirinya tidak sesuai dengan penggunaan yang seharusnya.

Misalnya, kulo sare, kulo dhahar, kulu kundur, dan seterusnya. Ragam tersebut tentu saja tidak tepat karena krama inggil digunakan untuk pembicara. Berdasarkan kasus tersebut, maka perlu adanya evaluasi dan reformulasi pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah.

Perlunya pengajaran yang menarik untuk bahasa daerah. Bisa jadi, pengajaran bahasa daerah (Jawa) yang hanya diajarkan di dalam kelas saja dan bersifat hapalan teoritis menyebabkan siswa didik menjadi jemu dan merasa bosan. Hal tersebut membuat siswa didik seolah merasa bahwa belajar bahasa daerah (Jawa) itu tidak ubahnya seperti belajar bahasa asing saja.

Pembelajaran bahasa daerah (Jawa) dapat dilakukan di luar kelas sekaligus melakukan kegiatan identifikasi benda secara langsung. Siswa akan kesulitan apabila harus membayangkan. Misalnya, arane godhong: godhong aren (dliring), godhong jarak (bledheg), dan sebagainya.

Contoh lainnya, seorang guru bisa mencari gambar-gambar yang menyertai pelajaran bahasa daerah (Jawa) tersebut dengan searching di sejumlah situs yang menyediakannya. Salah satunya adalah di situs macam google.com/image untuk kemudian ditampilkan di layar. Namun, tentu saja hal tersebut bisa dilakukan terutama untuk sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas pendukung yang memadai.

Salah satu reformulasi yang bisa dilakukan adalah melalui MGMP. MGMP ini menghasilkan rumusan pengajaran bahasa daerah (Jawa) yang sesuai dengan kondisi daerah dan sekolah masing-masing. Dan, perlunya dukungan berbagai pihak untuk melestarikan bahasa daerah (Jawa) di tengah-tengah generasi yang sarat dijejali dengan jutaan informasi saat ini. Semoga.

( Surya.co.id , Senin, 11 April 2011)