27,5 Jam per Minggu-Cemburu atau Keliru

30/10/2011 11:01
Oleh Sudjarwo (Guru Besar FKIP Unila)
Membaca dan mendengar keinginan pemerintah untuk menambah jam mengajar bagi guru yang semula 24 jam per minggu menjadi 27,5 jam per minggu, saya sangat terperanjat. Ini suara iri atau buta hati dari pemerintah yang menganggap pekerjaan mendidik sama dengan buruh/tukang.

PADAHAL, produk hukum yang telah dikeluarkan sendiri oleh pemerintah yaitu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, secara tegas menjelaskan bahwa profesi mendidik tidak dapat disamakan dengan profesi lainnya. Profesi ini memerlukan sejumlah persyaratan yang tidak ringan. Belum lagi ditambah dengan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang lebih mensyaratkan lagi untuk membedakan profesi guru dengan profesi lain.

Pada edisi Minggu (9/10), koran terbitan ibu kota mengupas kesesatan berpikir tentang penambahan jam mengajar guru. Dari sisi lain, tulisan ini melihat bukan kesesatan berpikir. Akan tetapi, lebih cenderung pada ’’iri dengkinya’’ birokrasi kepada profesi guru, yang memiliki penghasilan melebihi rata-rata pendapatan pegawai negeri biasa. Tidak pernah terbayangkan oleh banyak pihak bagaimana guru menjadi ’’sapi perahan’’ birokrasi. Hal ini sulit diungkap, karena sama halnya kita mencari sumbernya (maaf) kentut. Ada sejumlah borok yang patut diungkap di sini. Sekali lagi tidak akan mungkin pelakunya mengakui karena ’’rasa ada tapi tiada’’ adalah ungkapan paling jitu untuk satu ini.

Pintu pertama saat di dinas kabupaten/kota, guru harus berhadapan dengan birokrat yang mengurus sertifikasi. Di sini ada tarif yang tidak mungkin terungkap yaitu lewat jalan tol atau jalur biasa. Semua punya tarif yang sulit untuk dilacak. Untuk menghindar diri, dalil yang dipakai bertameng pihak lain yang meminta, padahal itu semua inisiatif para birokrasi.

Setelah selesai pendidikan dan latihan, guru harus mengumpulkan sejumlah berkas. Lagi-lagi ini menjadi lahan subur buat ’’ngerjain’’ guru. Semua syarat diminta, termasuk syarat yang tidak masuk akal. Lagi-lagi akal bulus birokrasi mencari dalil, semua ini atas dasar ’’pelayanan’’ menjadi alasan klasik. Mau dilayani, atau ditinggal. Dua risiko dibuat kontradiktif atas nama birokrasi. Kekuasaan mulai dimainkan di sini oleh para birokrasi untuk mendapatkan sedikit rupiah dari semua layanannya.

Pintu berikut setelah menerima tunjangan sertifikasi, ’’pemerasan’’ gaya baru mulai tampil. Dengan alasan pelaporan, ’’biaya balas jasa’’ harus dikeluarkan oleh para guru penerima dana sertifikasi. Alasan-alasan klasik atas nama pelayanan mereka dengungkan. Sehingga, pemerasan yang mereka lakukan sangat tidak kentara.

Bermain di sini cantik sekali, alasan untuk pengumpulan data, atau apalah lainnya, sehingga guru per orang mengeluarkan sejumlah rupiah. Hal ini sudah makan korban; yaitu kasus guru swasta yang melaporkan ke Polisi tentang kecurangan dan sertifikasi di Cirebon. Guru tersebut di pecat dan kehilangan semua hak-haknya termasuk tunjangan sertifikasi.

Hal di atas bukan lamunan, apalagi khayalan. Semua itu hasil investigasi yang dilakukan secara seksama. Dari semua, setelah dilakukan wawancara mendalam, ternyata inti pokoknya ialah para birokrat pelayan guru merasa iri karena gaji guru begitu besar. Sementara mereka tidak. Tatkala didesak untuk berganti peran, mereka menolak secara halus. Tatkala dijelaskan bagaimana guru harus mempersiapkan segala sesuatu sebelum berdiri di muka kelas, mereka seolah abai tentang hal ini, bahkan cenderung menjawab itu bagian dari tugas. Tidak terbayangkan bagaimana mereka masuk kantor pukul 09.00 WIB dan pulang 12.00. Sementara, guru harus pukul 07.00 sudah harus di muka kelas. Kemudian pukul 13.30 baru tinggalkan sekolah.

Puncak gunung es itu terjawab sudah. Atas nama keadilan, maka pemerintah akan memberlakukan jam mengajar guru pada 2012 menjadi 27,5 jam per minggu. Pertanyaan adilkah cara itu dipakai? Pertanyaan ini bergantung siapa yang jawab. Sebab, persoalan keadilan pada konteks ini sangat absurd dan subjektif.

Jika guru yang belum disertifikasi akan berkata ’’inilah gara-gara sertifikasi kita jadi sengsara’’. Sementara yang sudah disertifikasi ’’aneh ya, yang buat aturan kok melanggar aturan’’. Bagi birokrasi; ’’rasain tu guru’’. Memang diakui tidak semua birokratnya kurang baik. Masih ada di antara mereka yang baik dan handal. Akan tetapi apa artinya mereka jika dibandingkan dengan dampak buruk yang dilakukan oleh segelintir orang, tetapi merusak sistem secara keseluruhan.

Demikian ’’suara hati’’ mereka, namun kesimpulan sudah pasti di dapat yaitu guru tetap saja guru, yang seolah-olah harus menerima apa pun ’’perintah’’ dari birokrasi. Bahkan, waktu kepala sekolah baru bertugas dua tahun. Sebab, birokrasi dalam hal ini kepala daerah tidak suka dengan alasan subjektif. Kepala sekolah dapat diberhentikan mendadak tanpa alasan.

Pada satu kesempatan di suatu lembaga yang menggodok standarisasi pendidikan, membahas standarisasi kepala sekolah. Saya menambahkan satu item, yaitu ’’menurut perintah semua penguasa daerah, atau pandai menyenangkan hati kepala daerah’’. Semua peserta tertawa getir, mereka semua menertawakan diri sendiri, negara , dan bangsanya.

Demikian carut-marutnya dunia pendidikan kita jika berhadapan dengan birokrasi yang tidak mau objektif melihat kinerja guru. Kecenderungan untuk menyamaratakan pola Orde Baru ternyata masih melekat pada para birokrat kita. Reformasi birokrasi hanya slogan semata. Semua bergantung dari mood para pejabatnya. Standarisasi yang telah disusun selama ini dengan biaya tidak murah, ternyata hanya tinggal di atas kertas serta bagai macan ompong yang hanya pandai mengaum, tidak mampu menggigit. (*)

( Sumber: https://www.radarlampung.co.id/read/opini/42763-275-jam-per-minggu-cemburu-atau-keliru)